Jumat, 07 Juli 2017

PENGEMBANGAN BAKAT DAN KREATIVITAS ANAK



TUGAS KELOMPOK I
PERANAN KELUARGA DALAM MENGEMBANGKAN BAKAT
DAN KREATIVITAS ANAK
Disusun
Oleh:
Nama-nama anggota:
1.   Andreas Yosef Bulu
2.   Adi Thomas Ibi Dapa
3.   Arman Umbu Hama Koda
4.   Anjelina Bili
5.   Antonius Fridus Malo
6.   Daniel Nikolaus Theedens
7.   Dedy Irawan Samapaty
8.   Delviana Goldeliva Mandeta
9.   Dominggus Ngongo
10.         Fransiska M. Ole Awa
11.         Maria Magdalena Bili

PERANAN KELUARGA
DALAM MENGEMBANGKAN BAKAT
DAN KREATIVITAS ANAK

RINGKASAN MATERI

A. PENGANTAR
Dikemukakan beberapa penelitian di Indonesia mengenai karakteristik keluarga anak berbakat dibandungkan dengan keluarga anak biasa, hubungan latar belakang keluarga dengan kinerja anak, dan studi perbandingan keluarga finalis LKIR/LPIR dengan kelompok pembanding.
Terakhir secara ringkas dikemukakan peranan orang tua sebagai pendukung program anak berbakat di sekolah.

B. TEORI PERSIMPANGAN KREATIVITAS (CREATIVITY INTERSECTION)
Dalam membantu anak mewujudkan kreativitas mereka, anak perlu dilatih dalam keterampilan tertentu sesuai dengan minat pribadinya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat atau talenta mereka. Pendidik terutama orang tua perlu menciptakan iklim yang merangsang pemikiran dan keterampilan kreatif anak, serta menyediakan saran prasana.
Disamping perhatian, dorongan dan pelatihan dari lingkungan, perlu ada motivasi intrinsik pada anak.minat anak untuk melakukan sesuatu harus tumbuh dari dalam dirinya sendiri, atas keinginannya sendiri.
Keberhasilan kreatif adalah persimpangan (intersection) antara keterampilan anak dalam bidang tertentu (domaian skills), keterampilan berpikir dan bekerja kreatif, dan motivasi intrinsik, dapat juga disebut motivasi batin (Amabile, 1989).
Motivasi intrinsik untuk menulis, adalah misalnya:
1)  Jika anak mempunyai keinginan dan prakarsa sendiri melakukan suatu kegiatan,
2)  Jika anak senang melakukan kegiatan tanpa disuruh,
3)  Jika anak menglami kepuasan dengan melakukan kegiatan itu, atau
4)  Keuntungan materiil tidak menjadi alasan utama untuk menulis.

Motivasi ekstrinsik untuk menulis, adalah misalnya:
1)  Jika anak menulis karena didorong atau disuruh orang tua dan guru,
2)  Jika anak menginginkan penghargaan untuk karyanya,
3)  Jika tanpa dorongan atau penghargaan, anak tidak senang melakukan kegiatan itu, atau
4)  Jika anak menulis terutama karena mencari keuntungan materiil atau finansial.

C. KARAKTERISTIK KELUARGA YANG KREATIF
1.   Penelitian Dasey
Dasey (1989)telah melakukan penelitin di Inggris terhadap kehidupan keluarga yang berbeda dari keluarga biasa. Dari keluarga yang menjadi sampel penelitian ini, separuhnya dipilih karena salah satu dari orang tua termasuk lima persen paling atas dalam kinerja kreatif dalam profesinya berdasarkan penelitian anggota profesi tersebut. Separuh lainnya dilibatkan dalam sampel penelitian karena salah satu anak remaja dari keluarga tersebut dinilai paling kreatif (lima persen paling atas) oleh staf pengajar yang mampu mengetahui. Prestasi kreatif remaja yang dinominasi juga dinilai oleh pakar dalam bidang itu. Data dari 56 keluarga tersebut dibandingkan dengan data sebanding dari 20 keluarga yang tidak diidentifikasi sebagai kreatif.
Empat jenis kreativitas, sesuai dengan empat bidang konten Struktur Intelek Guilford (1975), yaitu figural, simbolis, semantis, dan sosial (perilaku), dinilai menurut sekala 1-9. Contoh dari produk bidang kreativitas yang figural ialah seni pahat/ukir, arsitektur, yang simbolis ialah dalam bidang matematika, musik, balet, yang semantis ialah dalam bidang jurnalistis, menulis naskah, dan yang sosial (menyangkut perilaku) ialah dalam bidang psikologi, pendidikan. Kriteria skala penilaian ialah 3 jika produknya tidak mendapat penghargaan, 5 jika penghargaan bersifat lokal, 7 jika penghargaan yang diberikan adalah regional, dan 9 jika mendapat penghargaan nasional. Skor total ialah jumlah dari empat skor untuk empat bidang tersebut di muka.
Data yang digunakan untuk menarik kesimpulan dari studi ini ialah:
1.   Korelasi antara tes kreativitas dan penilaian kaarya kreatif.
2.   Perbedaan nilai rata-rata (t-test) antara sampel yang kreatif dan sampel yang tidak dinilai kreatif.
3.   Jawaban terhadap empat puluh dua pertanyaan wawancara dianalisis secara kualitatif.
4.   Orang tua dari 25 remaja yang paling kreatif diminta untuk mendiskusikan berbagai topik berkenaan dengan apa yang menghasilkan anak yang kreatif.

a.    Kesimpulan yang ditarik dari studi ini
1.   Faktor genetis versus lingkungan
Dalam keluarga yang dipilih karena salah seorang dari orang tua dinilai sangat kreatif. Lebih dari separuh anak mereka juga di atas rata-rata dalam kreativitas. Pada keluarga yang dipilih karena sekolah menunjukkan anak remaja sebagai sangat kreatif, hanya sepertiga dari orang tua di atas rata-rata dalam prestasi kreatif. Meskipun hasil ini belum tuntas memecahkan masalah “nature versus nature”, namun jelas menunjukkan peranan faktor lingkungan seperti cara asuhan orang tua dan iklim keluarga.
2.   Aturan Perilaku
Orang tua dari remaja kreatif tidak banyak menentukan aturan perilaku di dalam keluarga. Kelompok orang tua ini rata-rata hanya menentukan kurang dari satu aturan seperti jumlah jam belajar, waktu tidur, dan aturan untuk kegiatan lain. Kelompok keluarga yang tidak kreatif menerapkan rata-rata enam aturan perilaku. Namun, orang tua dari remaja kreatif tidak “permissive” dalam cara asuhan. Mereka menentukan dan meneladankan (model) seperangkat nilai yang jelas, dan mendorong anak-anak mereka untuk menentukan perilaku apa yang mencerminkan nilai-nilai tersebut. Kebanyak dari orang tua ini tidak mengalami masah dengan penerapan disiplin di dalam keluarga.

3.   Tes Kreativitas sebagai Prediktor Prestasi Kreatif Remaja
Enam tes kreativitas yang dipersingkat diberikan kepada sampel remaja dalam studi ini. Meskipun benberapa menunjukkan korelasi yang bermakna dengan penilaian kreativitas, secara keseluruhan korelasinya rendah. Ada kemungkinan bahwa hal ini disebabkan karena yang digunakan ialah tes kreativitas singkatan. Mungkin juga penilaian kreativitas kurang absah, tetapi korelasi yang tinggi dengan faktor lain dalam studi ini cukup menunjukkan keabsahan konstruk. Dugaan yang kuat ialah bahwa kreativitas merupakan “strait” yang relatif kurang stabil, terutama pada masa remaja (Dacey, 1989).

4.   Masa Kritis
Cukup banyak subjek dari sampel menyatakan pernah mengalami ‘saat kritis’ dalam hidup mereka, kala mana karena macam-macam sebab citra diri mereka terbuka untuk perubahan. Pada saat itu, jika kejadian yang tepat terjadi, mereka dapat berpikir lebih imajinatif dan berani mengambil resiko dalam bertindak. Kejadian yang tepat misalnya dorongan dari orang tua atau guru, atau kesempatan yang baik dalam usaha tertentu.
Berdasarkan pernyataan dari subjek, dan juga berdasarkan penemuan baru tentang perkembangan kepribadian oleh peneliti lain (Gould, 1978; Levinson, 1978) keenam masa kehidupan, yaitu kelima tahun pertama dari hidup, masa remaja, masa dewasa muda, 29 sampai 31 tahun, awal empat puluhan, dan 60 sampai 65 tahun, merupakan kesempatan yang paling besar untuk timbulnya saat kritis tersebut. Sayang sekali, tampaknya kesempatan seperti itu menjadi makin berkurang dengan bertambahnya setiap masa.

5.   Humor
Bercanda, berolok-olok, dan memberdayakan sebagai lelucon, biasa terjadi pada keluarga kreatif. Anggota keluarga sering saling memeberikan nama atau julukan lucu, dan menggunakan kosakata yang hanya dapat dimengerti oleh mereka. Orang tua dan anak dalam penelitian ini diminta untuk menilai 13 ciri-ciri seperti ‘mempunyai IQ tinggi’ dan ‘kurang populer dengan teman sebaya’ yang menyinggung anak. Ternyata ‘rasa humor’ mendapat peringkat jauh lebih tinggi oleh keluarga kreatif daripada oleh keluarga perbandingan (kontrol).

6.          Ciri-Ciri Menonjol Lainnnya
Bertentangan dengan pendapat streotipe, anak-anak kreativitas melihat dirinya mudah bergaul dengan orang lain dan menilai tinggi ciri ini. Mereka memandang dirinya ‘berbeda’ dan menyatakan mempunyai pikiran ini pada usia dini (biasanya sebelum enam tahun). Kebanyakan melihat hal ini sebagai aset, sebagai sesuatu yang positif. Remaja memilih ciri ‘ sangat mampu melihat sesuatu hal dengan cara baru dan menemukan gagasan baru’ sebagai ciri yang paling tepat menggambarkan mereka, dan memberi peringkat rendah terhadap ciri ‘sehat’ dan ‘mempunyai banyak energi’ orang tua mereka setuju bahwa ciri-ciri seperti ‘menonjol dalam ciri-ciri karakter seperti kejujuran dan dapat diandalkan’ paling tepat menggambarkan mereka, diikuti oleh ciri ‘paling mampu melihat hal-hal dengan cara baru dan menemukan gagasan baru’. Orang tua memberi peringkat paling rendah terhadap ciri-ciri ‘penampilan baik’ dan ‘sehat’.
Kebanyakan memberi peringkat sedang terhadap ciri-ciri ‘mencapai niali tertinggi’ dan ‘memiliki IQ tertinggi’. Sebagaimna dikemukakan pada studi lainnya (MacKinnon, 1978; Taylor, dan Getzels, 1975) keadaan internal seperti imajinasi dan kejujuran mendapat penghargaan jauh lebih tinggi daripada ciri-ciri seperti angka dan kesehatan.

7.   Perumahan
Kebanyakan dari keluarga kreatif menempati rumah yang jauh berbeda dari rumah-rumah orang lain. Ada yang modern; ada yang berlokasi di dalam hutan, misalnya ada yang antik; ada yang perabotnya tidak konversional. Rumah-rumah tersebut di dalamnya didekorasi dengan koleksi yang langka, seperti teko teh dari Turki. Atau di dalam salah satu rumah, satu ruangan disediakan untuk 47 burung langka. Kebanyakan dari keluarga kreatif tersebut taraf sosial-ekonominya tergolong menengah atau menengah tinggi.

8.   Pengakuan dan Penguatan pada Usia Dini
Orang tua dalam studi ini diminta menyatakan pada usia berapa mereka pertama kali menduga bahwa anak mereka memili,i kemampuan yang luar biasa dan apa yang membuat mereka berpikir demikian. Kebanyakan melihat dengan memperhatikan tanda-tanda seperti pola pikiran khusus atau kemampuan memecahkan masalah yang  tinggi sebelum anak mencapai umur tiga tahun. Meskipun sedikit yang bermaksud memupuk ciri-ciri ini pada anak mereka, kebanyakan pernyataan bahwa mereka tergugah dan berusaha untuk mendorong kecenderungan ini. Biasanya mereka memberi banyak kesempatan (les, peralatan, kontak, situasi) yang menggambarkan ciri-ciri ini. Tanpa kecuali, mereka senang menemukan bahwa anak mereka menunjukkan tanda-tanda memiliki kreativitas tinggi. Kebanyakan anak mengatakan mereka merasakan mendapat dorongan kuat dari orang tua mereka.

9.   Gaya Hidup Orang Tua
Kebanyakan orang tua dari keluarga kreatif dapat menceritakan salah satu aspek dari kehidupan mereka yang tidak biasa. Misalnya, kebanyakan ibu mempunyai pekerjaan yang jarang dilakukan wanita; mereka menjadi pengacara, ahli bedah, atau seniaman. Praktis semua orang tua mempunyai minat yang dikembangkan di sampiung pekerjaan mereka, dan kebanyakan dari minat ini luar biasa. Pada cukup banyak keluarga, anak memepunyai minat yang sama sepertiorang tuanya.

10.    Trauma
Anak kreatif lebih banyak mengalami trauma daripada anak biasa; peristiwa yang menyebabkan kesedihan, kemarahan, atau keduanya, dan amat mengganggu kehidupan anak. Orang tua dari remaja kreatif mengingat dua sampai sembilan peristiwa traumatis yang dialami, dibandingkan hanya satu sampai tiga pada keluarga pembanding. Beberapa teoretikus percaya bahwa mengalami trauma masa anak merupakan sebab utama dari kreatifvitas, terutama pada para penulis (Kris, 1965; Goertzel dan Goertzel, 1978).

11.    Dampak dari Sekolah
Baik anak maupun orang tua dalam studi ini semua sepakat bahwa hanya sedikit sekolah yang mempunyai dampak terhadap pengembangan kreativitas anak. Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian, bahwa korelasi antara penilaian kreativitas oleh Panel Boston College dan keinovatifan sekolah termasuk rendah. Mungkin ada sekolah atau guru yang membantu siswa meningkatkan kreativitas mereka, tetapi dalam studi ini jarang ditemukan.

12.    Bekarja Keras
Subjek dalam studi ini setuju dengan ungkapan Thomas Edison, bahwa  kreativitas itu “one part inspiration and 99 parts perspiration.” Kreativitas itu hanya sedikit sekali merupakan hasil ilham, tetapi jauh lebih banyak merupakan hasil kerj keras. Hampir tanpa kecuali mereka mengatakan bahwa mereka bekrja jauh lebih keras daripada teman sekolah mereka dan telah melakukan demikian sejak saat masuk sekolah. Hasil ini juga berlaku untuk macam-macam pekerjaan dan jabatan, termasuk pekerjaan rumah dan tugas dalam keluarga.

13.    Dominasi Latera
Beberapa tereotikus berpendapat bahwa kekidalam lebih banyak ditemukan pada pribadi-pribadi kreatif, karena merupakan petunjuk bahwa mereka lebih dikuasai oleh belahan otak kanan. Belahan otak kiri lebih dilihat sebagai bagian yang ‘logis’ sedangkan belahan kanan sebagai bagian yang ‘intuitif’. Meskipun situasinya tidak begitu sederhana, tetapi studi ini cukup mendukung teori tersebut. Pada populasi umum, 5-10 persen adalah kidal (leaf-handed). Dalam studi ini dari mereka yang nilai kreativitasnya rendah 8 persen kidal, sedangkan 20 persen dari mereka yang kreativitasnya dinilai tinggi adalah kidal.

14.    Perbedaan Jenis Kelamin
Meskipun dalam studi ini Ayah mencapai skor lebih tinggi daripada ibu hampir dalam semua kategori, gender dari sampel remaja tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam nilai kreativitas. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh persepsi yang berubah mengenai gender wanita, yang lebih mendorong produktivitas perempuan daripada masa lalu. Dalam penelitian Utami Munandar tahun 1977 di Jakarta, baik pada jenjang sekolah dasar maupun pada jenjang SMP, siswa perempuan tidak berbeda daripada siswa laki-laki dari tingkat rata-rata intelejensi dan kreativitas.
Dalam studi Dacey (1989), kedua orang tua sepakat bahwa hampir dua kali banyaknya dari remaja kreatif perempuan mempunyai rasa identifikasi yang kuat dengan ibu mereka. Dari data wawancara, nyata bahwa remaja meniru keberhasilan ayah tetapi lebih mengandalkan ibu untuk mendapat dorongan. Yang menarik adalah pendapat dari Ikeda (1979) dari Jepang, bahwa ibu mempunyai peranan utama dalam pengembangan kreativitas keluarganya. Menurut Ikeda, kehidupan kreativitas ibu secara alamiah akan tertanam dalam pemikiran anak-anaknya, menjadi bagian yang hidup daripemikiran mereka.

15.         Penilaian Orang Tua Mengenai Kreativitas Anak
Dalam setiap keluarga, orang tua diminta menilai tingkat anak pada keempat jenis kreativitas tersebut di muka. Penilaiaan ini dibandingkan dengan penilaian Panel Boston College. Ternyata ayah dan ibu sangat setuju dengan penilaian masing-masing, dan dengan penilaian secara menyeluruh.

16.    Jumlah Koleksi
      Makin tinggi kreativitas remaja, makin banyak jumlah koleksi mereka. Koleksi ini tidak biasa (lazim) pada umur mereka. Bagaimanapun, jumlah perbedaan yang nyata ditemukan antara keluarga yang kreativitasnya tinggi dan rendah, cukup menjadi petunjuk kuat bahwa keluarga merupakan kekuatan yang paling penting, dan merupakan sumber pertama dan yang paling utama dalam pengembangan kemampuan kreatif anak.

2.   Hubungan antara Latar Belakang Keluarga dan Kinerja Anak
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari studi ini ialah:
Pada umumnya tampak bahwa makin tinggi tingkat pendidikan orang tua, makin baik prestasi anak. Jika membandingkan prestasi anak yang ayahnya berpendidikan SLTA atau lebih tinggi dengan prestasi anak yang pendidikan ayahnya lebih rendah dari SLTA, maka pada tingkat SD tampak perbedaan yang nyata dalam skor kreativitas, intelegensi, daya ingatan, dan prestasi sekolah; tetapi pada tingkat SMP perbedaannya hanya bermakna dalam prestasi sekolah. Yang menarik adalah bahwa pendidikan ibu lebih jelas dan positif hubungannya dengan prestasi anak, daripada pendidikan ayah. Di SD maupun SMP kelompok kelompok anak yang pendidikan ibunya SLTA ke atas skornya nyata lebih tinggi pada kreativitas, intelegensi, dan prestasi sekolah, daripada kelompok anak yang pendidikan ibunya lebih rendah dari SLTA.
Pada tingkat SD kecenderungan anak ialah bahwa perhatian dan pengawasan orang tua terhadap pekerjaan rumah menunjukkan hubungan yang positif dengan kinerja anak, akan tetapi pada tingkat SMP, anak tidak memerlukan pengawasan orang tua untuk berprestasi baik. Bahkan tampak kecenderungan bahwa antara pengawasan yang ketat dan kinerja anak pada hubungan yang terbalik.
Sejauh mana keluarga mampu menyediakan fasilitas tertentu untuk anak (seperti langganan surat kabar, TV, dan buku bacaan) menunjukkan hubungan yang positif dengan tingkat kinerja anak.
Sehubungan dengan sikap orang tua dalam pendidikan, data menunjukkan bahwa perhatian merupakan determinan yang poisitif dari kinerja kreatif seorang anak, akan tetapi bahwa pendekatan otoriter mempunyai dampak sebaliknya terhadap kinerja anak.
Terlalu banyak ikut campur dari pihak orang tua,misalnya terhadap cara berbicara anak, minat anak terhadap membaca, dalam menentukan peraturan di rumah, tidak menghailkan tingkat kinerja yang lebih tinggi pada kreativitas.


3.   Studi tentang Keluarga Anak Berbakat di Indonesia
Pada tahun 1982 penulis telah melakukan studi perbandingan di Jakarta antara keluarga anak dengan IQ di atas 130 dan keluarga anak dengan IQ pada taraf rata-rata.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa orang tua anak berbakat mempunyai tingkat pendidikan, jabatan profesional, dan penghasilan yang lebih tinggi. Lebih banyak dari mereka yang mempunyai hobi membaca, walaupun secara umum kebiasaan membaca semua orang tua belum tinggi. Taraf aspirasi orang tua anak berbakat sehubungan dengan pendidikan anak lebih tinggi. Jumlah anak dalam keluaraga lebih kecil presentase anak berbakat yang termasuk anak sulung lebih tinggi.
Sehubungan dengan ciri-ciri anak yang menurut orang tua perlu dikembangkan, dalam penelitian ini nyata bahwa orang tua anak berbakat lebih mementingkan ciri “tekanan” dan “inisiatif” dibandingkan orang tua kelompok anak dengan kecerdasan rata-rata. Inisiatif memeng merupakan ciri anak berbakat, seperti dinyatakan oleh Briet (dikutip oleh Martinson, 1074:25): “...a self- insiated student, usually needing little help in knowing what to do; starts on his own; pursues individual interest and seeks own direction.
Dibandingkan orang tua anak berbakat, orang tua anak dengan IQ rata-rata lebih mementingkan ciri “kepatuhan” pada anak. Anak berbakat banyak dituntut orang tua untuk mengerjakan tugas-tugas di rumah di bandingkan dengan anak IQ rata-rata, sehingga mereka lebih banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang mereka senangi. Orang tua dari kedua kelompok anak sama dalam memberikan prioritas kepada ciri “kerajinan” dan “kebebasan”. Hal ini sebetulnya tidak diharapkan dari orang tua anak berbakat karena kedua ciri tersebut justru merupakan ciri khas anak berbakat dan kreatif.
Penelitian di luar negeri mengenai keluarga anak berbakat dan kreatif menunjukkan bahwa anak-anak tersebut: “Come from family backgrounds characterized by lack of overdependence of children on parents and stress of conformity by parents” (Martinson, 1974:22).
Seagoe (dikutip Utami Manandar, 1982:117) menyebut sebagai karakteristik anak berbakat: “independence in work and study; preference for individualized work; self-reliance; need for freedom of movement and action.”

4.   Penelitian tentang Latar Belakang Keluarga Finalis LKR/LPIR
Dedi Supriadi (1994) telah melakukan penelitian tentang peruahan pribadi dan lingkungan keluarga para finalis Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) dan Lomba Penelitaia Ilmiah Remaja (LPIR).
Penelitian ini bertumuan untuk mengetahui latar belakang lingkungan keluarga dan pribadi finalis LKIR/LPIR. Responden penelitian terdiri atas 125 finalis LKIR dan LPIR tahun 1986 dan 1987, yaitu 91% dari 138 finalis kedua lomba itu yang memberikan respons terhadap instrumen penelitian yang dikirimkan melalui pos ke alamat rumah atau sekolah mereka.
Mengutip Dedi Supriadi (1994), hasil studi ini menemukan bahwa sebagian besar finalis LKIR dan LPIR adalah laki-laki, anak pertama dan kedua, mempunyai orang tua berpendidikan dan berpenghasilan baik, menempuh pendidikannya di kota, berasal dari keluarga dengan iklim kehidupan yang baik, dan memiliki pengalaman bermakna yang kaya dalam kehidupannya. Secara umum, mereka memiliki  latar belakang kehidupan dan lingkungan yang lebih unggul daripada kelompok pembanding.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar