TUGAS
KELOMPOK I
DAN
KREATIVITAS ANAK
Oleh:
Nama-nama anggota:
1. Andreas
Yosef Bulu
2. Adi
Thomas Ibi Dapa
3. Arman
Umbu Hama Koda
4. Anjelina
Bili
5. Antonius
Fridus Malo
6. Daniel
Nikolaus Theedens
7. Dedy
Irawan Samapaty
8. Delviana
Goldeliva Mandeta
9. Dominggus
Ngongo
10.
Fransiska M. Ole Awa
11.
Maria Magdalena Bili
PERANAN
KELUARGA
DALAM
MENGEMBANGKAN BAKAT
DAN
KREATIVITAS ANAK
RINGKASAN
MATERI
A. PENGANTAR
Dikemukakan beberapa penelitian di
Indonesia mengenai karakteristik keluarga anak berbakat dibandungkan dengan
keluarga anak biasa, hubungan latar belakang keluarga dengan kinerja anak, dan
studi perbandingan keluarga finalis LKIR/LPIR dengan kelompok pembanding.
Terakhir secara ringkas dikemukakan
peranan orang tua sebagai pendukung program anak berbakat di sekolah.
B. TEORI PERSIMPANGAN KREATIVITAS
(CREATIVITY INTERSECTION)
Dalam membantu anak mewujudkan
kreativitas mereka, anak perlu dilatih dalam keterampilan tertentu sesuai
dengan minat pribadinya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat atau
talenta mereka. Pendidik terutama orang tua perlu menciptakan iklim yang merangsang
pemikiran dan keterampilan kreatif anak, serta menyediakan saran prasana.
Disamping perhatian, dorongan dan
pelatihan dari lingkungan, perlu ada motivasi intrinsik pada anak.minat anak
untuk melakukan sesuatu harus tumbuh dari dalam dirinya sendiri, atas
keinginannya sendiri.
Keberhasilan kreatif adalah persimpangan
(intersection) antara keterampilan anak dalam bidang tertentu (domaian skills),
keterampilan berpikir dan bekerja kreatif, dan motivasi intrinsik, dapat juga
disebut motivasi batin (Amabile, 1989).
Motivasi intrinsik untuk menulis, adalah
misalnya:
1) Jika
anak mempunyai keinginan dan prakarsa sendiri melakukan suatu kegiatan,
2) Jika
anak senang melakukan kegiatan tanpa disuruh,
3) Jika
anak menglami kepuasan dengan melakukan kegiatan itu, atau
4) Keuntungan
materiil tidak menjadi alasan utama untuk menulis.
Motivasi ekstrinsik untuk menulis,
adalah misalnya:
1) Jika
anak menulis karena didorong atau disuruh orang tua dan guru,
2) Jika
anak menginginkan penghargaan untuk karyanya,
3) Jika
tanpa dorongan atau penghargaan, anak tidak senang melakukan kegiatan itu, atau
4) Jika
anak menulis terutama karena mencari keuntungan materiil atau finansial.
C. KARAKTERISTIK KELUARGA YANG KREATIF
1.
Penelitian
Dasey
Dasey (1989)telah melakukan penelitin di
Inggris terhadap kehidupan keluarga yang berbeda dari keluarga biasa. Dari
keluarga yang menjadi sampel penelitian ini, separuhnya dipilih karena salah
satu dari orang tua termasuk lima persen paling atas dalam kinerja kreatif
dalam profesinya berdasarkan penelitian anggota profesi tersebut. Separuh
lainnya dilibatkan dalam sampel penelitian karena salah satu anak remaja dari
keluarga tersebut dinilai paling kreatif (lima persen paling atas) oleh staf
pengajar yang mampu mengetahui. Prestasi kreatif remaja yang dinominasi juga
dinilai oleh pakar dalam bidang itu. Data dari 56 keluarga tersebut
dibandingkan dengan data sebanding dari 20 keluarga yang tidak diidentifikasi
sebagai kreatif.
Empat jenis kreativitas, sesuai dengan
empat bidang konten Struktur Intelek Guilford (1975), yaitu figural, simbolis,
semantis, dan sosial (perilaku), dinilai menurut sekala 1-9. Contoh dari produk
bidang kreativitas yang figural ialah seni pahat/ukir, arsitektur, yang
simbolis ialah dalam bidang matematika, musik, balet, yang semantis ialah dalam
bidang jurnalistis, menulis naskah, dan yang sosial (menyangkut perilaku) ialah
dalam bidang psikologi, pendidikan. Kriteria skala penilaian ialah 3 jika
produknya tidak mendapat penghargaan, 5 jika penghargaan bersifat lokal, 7 jika
penghargaan yang diberikan adalah regional, dan 9 jika mendapat penghargaan
nasional. Skor total ialah jumlah dari empat skor untuk empat bidang tersebut
di muka.
Data yang digunakan untuk menarik
kesimpulan dari studi ini ialah:
1. Korelasi
antara tes kreativitas dan penilaian kaarya kreatif.
2. Perbedaan
nilai rata-rata (t-test) antara sampel yang kreatif dan sampel yang tidak
dinilai kreatif.
3. Jawaban
terhadap empat puluh dua pertanyaan wawancara dianalisis secara kualitatif.
4. Orang
tua dari 25 remaja yang paling kreatif diminta untuk mendiskusikan berbagai
topik berkenaan dengan apa yang menghasilkan anak yang
kreatif.
a. Kesimpulan
yang ditarik dari studi ini
1. Faktor
genetis versus lingkungan
Dalam keluarga yang
dipilih karena salah seorang dari orang tua dinilai sangat kreatif. Lebih dari
separuh anak mereka juga di atas rata-rata dalam kreativitas. Pada keluarga
yang dipilih karena sekolah menunjukkan anak remaja sebagai sangat kreatif,
hanya sepertiga dari orang tua di atas rata-rata dalam prestasi kreatif.
Meskipun hasil ini belum tuntas memecahkan masalah “nature versus nature”,
namun jelas menunjukkan peranan faktor lingkungan seperti cara asuhan orang tua
dan iklim keluarga.
2. Aturan
Perilaku
Orang tua dari remaja kreatif
tidak banyak menentukan aturan perilaku di dalam keluarga. Kelompok orang tua
ini rata-rata hanya menentukan kurang dari satu aturan seperti jumlah jam
belajar, waktu tidur, dan aturan untuk kegiatan lain. Kelompok keluarga yang
tidak kreatif menerapkan rata-rata enam aturan perilaku. Namun, orang tua dari
remaja kreatif tidak “permissive” dalam cara asuhan. Mereka menentukan dan
meneladankan (model) seperangkat nilai yang jelas, dan mendorong anak-anak
mereka untuk menentukan perilaku apa yang mencerminkan nilai-nilai tersebut.
Kebanyak dari orang tua ini tidak mengalami masah dengan penerapan disiplin di
dalam keluarga.
3. Tes
Kreativitas sebagai Prediktor Prestasi Kreatif Remaja
Enam tes kreativitas
yang dipersingkat diberikan kepada sampel remaja dalam studi ini. Meskipun
benberapa menunjukkan korelasi yang bermakna dengan penilaian kreativitas,
secara keseluruhan korelasinya rendah. Ada kemungkinan bahwa hal ini disebabkan
karena yang digunakan ialah tes kreativitas singkatan. Mungkin juga penilaian
kreativitas kurang absah, tetapi korelasi yang tinggi dengan faktor lain dalam
studi ini cukup menunjukkan keabsahan konstruk. Dugaan yang kuat ialah bahwa
kreativitas merupakan “strait” yang relatif kurang stabil, terutama pada masa
remaja (Dacey, 1989).
4. Masa
Kritis
Cukup banyak subjek
dari sampel menyatakan pernah mengalami ‘saat kritis’ dalam hidup mereka, kala
mana karena macam-macam sebab citra diri mereka terbuka untuk perubahan. Pada
saat itu, jika kejadian yang tepat terjadi, mereka dapat berpikir lebih
imajinatif dan berani mengambil resiko dalam bertindak. Kejadian yang tepat
misalnya dorongan dari orang tua atau guru, atau kesempatan yang baik dalam
usaha tertentu.
Berdasarkan pernyataan
dari subjek, dan juga berdasarkan penemuan baru tentang perkembangan
kepribadian oleh peneliti lain (Gould, 1978; Levinson, 1978) keenam masa
kehidupan, yaitu kelima tahun pertama dari hidup, masa remaja, masa dewasa
muda, 29 sampai 31 tahun, awal empat puluhan, dan 60 sampai 65 tahun, merupakan
kesempatan yang paling besar untuk timbulnya saat kritis tersebut. Sayang
sekali, tampaknya kesempatan seperti itu menjadi makin berkurang dengan
bertambahnya setiap masa.
5. Humor
Bercanda, berolok-olok,
dan memberdayakan sebagai lelucon, biasa terjadi pada keluarga kreatif. Anggota
keluarga sering saling memeberikan nama atau julukan lucu, dan menggunakan
kosakata yang hanya dapat dimengerti oleh mereka. Orang tua dan anak dalam penelitian
ini diminta untuk menilai 13 ciri-ciri seperti ‘mempunyai IQ tinggi’ dan
‘kurang populer dengan teman sebaya’ yang menyinggung anak. Ternyata ‘rasa
humor’ mendapat peringkat jauh lebih tinggi oleh keluarga kreatif daripada oleh
keluarga perbandingan (kontrol).
6.
Ciri-Ciri Menonjol Lainnnya
Bertentangan dengan
pendapat streotipe, anak-anak kreativitas melihat dirinya mudah bergaul dengan
orang lain dan menilai tinggi ciri ini. Mereka memandang dirinya ‘berbeda’ dan
menyatakan mempunyai pikiran ini pada usia dini (biasanya sebelum enam tahun).
Kebanyakan melihat hal ini sebagai aset, sebagai sesuatu yang positif. Remaja
memilih ciri ‘ sangat mampu melihat sesuatu hal dengan cara baru dan menemukan
gagasan baru’ sebagai ciri yang paling tepat menggambarkan mereka, dan memberi
peringkat rendah terhadap ciri ‘sehat’ dan ‘mempunyai banyak energi’ orang tua
mereka setuju bahwa ciri-ciri seperti ‘menonjol dalam ciri-ciri karakter
seperti kejujuran dan dapat diandalkan’ paling tepat menggambarkan mereka, diikuti
oleh ciri ‘paling mampu melihat hal-hal dengan cara baru dan menemukan gagasan
baru’. Orang tua memberi peringkat paling rendah terhadap ciri-ciri ‘penampilan
baik’ dan ‘sehat’.
Kebanyakan memberi
peringkat sedang terhadap ciri-ciri ‘mencapai niali tertinggi’ dan ‘memiliki IQ
tertinggi’. Sebagaimna dikemukakan pada studi lainnya (MacKinnon, 1978; Taylor,
dan Getzels, 1975) keadaan internal seperti imajinasi dan kejujuran mendapat
penghargaan jauh lebih tinggi daripada ciri-ciri seperti angka dan kesehatan.
7. Perumahan
Kebanyakan dari
keluarga kreatif menempati rumah yang jauh berbeda dari rumah-rumah orang lain.
Ada yang modern; ada yang berlokasi di dalam hutan, misalnya ada yang antik;
ada yang perabotnya tidak konversional. Rumah-rumah tersebut di dalamnya
didekorasi dengan koleksi yang langka, seperti teko teh dari Turki. Atau di
dalam salah satu rumah, satu ruangan disediakan untuk 47 burung langka.
Kebanyakan dari keluarga kreatif tersebut taraf sosial-ekonominya tergolong
menengah atau menengah tinggi.
8. Pengakuan
dan Penguatan pada Usia Dini
Orang tua dalam studi
ini diminta menyatakan pada usia berapa mereka pertama kali menduga bahwa anak
mereka memili,i kemampuan yang luar biasa dan apa yang membuat mereka berpikir
demikian. Kebanyakan melihat dengan memperhatikan tanda-tanda seperti pola
pikiran khusus atau kemampuan memecahkan masalah yang tinggi sebelum anak mencapai umur tiga tahun.
Meskipun sedikit yang bermaksud memupuk ciri-ciri ini pada anak mereka,
kebanyakan pernyataan bahwa mereka tergugah dan berusaha untuk mendorong
kecenderungan ini. Biasanya mereka memberi banyak kesempatan (les, peralatan,
kontak, situasi) yang menggambarkan ciri-ciri ini. Tanpa kecuali, mereka senang
menemukan bahwa anak mereka menunjukkan tanda-tanda memiliki kreativitas
tinggi. Kebanyakan anak mengatakan mereka merasakan mendapat dorongan kuat dari
orang tua mereka.
9. Gaya
Hidup Orang Tua
Kebanyakan orang tua
dari keluarga kreatif dapat menceritakan salah satu aspek dari kehidupan mereka
yang tidak biasa. Misalnya, kebanyakan ibu mempunyai pekerjaan yang jarang
dilakukan wanita; mereka menjadi pengacara, ahli bedah, atau seniaman. Praktis
semua orang tua mempunyai minat yang dikembangkan di sampiung pekerjaan mereka,
dan kebanyakan dari minat ini luar biasa. Pada cukup banyak keluarga, anak
memepunyai minat yang sama sepertiorang tuanya.
10.
Trauma
Anak kreatif lebih
banyak mengalami trauma daripada anak biasa; peristiwa yang menyebabkan
kesedihan, kemarahan, atau keduanya, dan amat mengganggu kehidupan anak. Orang
tua dari remaja kreatif mengingat dua sampai sembilan peristiwa traumatis yang
dialami, dibandingkan hanya satu sampai tiga pada keluarga pembanding. Beberapa
teoretikus percaya bahwa mengalami trauma masa anak merupakan sebab utama dari
kreatifvitas, terutama pada para penulis (Kris, 1965; Goertzel dan Goertzel,
1978).
11.
Dampak dari Sekolah
Baik anak maupun orang
tua dalam studi ini semua sepakat bahwa hanya sedikit sekolah yang mempunyai
dampak terhadap pengembangan kreativitas anak. Pernyataan ini diperkuat oleh
hasil penelitian, bahwa korelasi antara penilaian kreativitas oleh Panel Boston
College dan keinovatifan sekolah termasuk rendah. Mungkin ada sekolah atau guru
yang membantu siswa meningkatkan kreativitas mereka, tetapi dalam studi ini
jarang ditemukan.
12.
Bekarja Keras
Subjek dalam studi ini
setuju dengan ungkapan Thomas Edison, bahwa kreativitas itu “one part inspiration and 99
parts perspiration.” Kreativitas itu hanya sedikit sekali merupakan hasil
ilham, tetapi jauh lebih banyak merupakan hasil kerj keras. Hampir tanpa
kecuali mereka mengatakan bahwa mereka bekrja jauh lebih keras daripada teman
sekolah mereka dan telah melakukan demikian sejak saat masuk sekolah. Hasil ini
juga berlaku untuk macam-macam pekerjaan dan jabatan, termasuk pekerjaan rumah
dan tugas dalam keluarga.
13.
Dominasi Latera
Beberapa tereotikus
berpendapat bahwa kekidalam lebih banyak ditemukan pada pribadi-pribadi
kreatif, karena merupakan petunjuk bahwa mereka lebih dikuasai oleh belahan
otak kanan. Belahan otak kiri lebih dilihat sebagai bagian yang ‘logis’
sedangkan belahan kanan sebagai bagian yang ‘intuitif’. Meskipun situasinya
tidak begitu sederhana, tetapi studi ini cukup mendukung teori tersebut. Pada
populasi umum, 5-10 persen adalah kidal (leaf-handed). Dalam studi ini dari
mereka yang nilai kreativitasnya rendah 8 persen kidal, sedangkan 20 persen dari
mereka yang kreativitasnya dinilai tinggi adalah kidal.
14.
Perbedaan Jenis Kelamin
Meskipun dalam studi
ini Ayah mencapai skor lebih tinggi daripada ibu hampir dalam semua kategori,
gender dari sampel remaja tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dalam nilai
kreativitas. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh persepsi yang berubah mengenai
gender wanita, yang lebih mendorong produktivitas perempuan daripada masa lalu.
Dalam penelitian Utami Munandar tahun 1977 di Jakarta, baik pada jenjang
sekolah dasar maupun pada jenjang SMP, siswa perempuan tidak berbeda daripada
siswa laki-laki dari tingkat rata-rata intelejensi dan kreativitas.
Dalam studi Dacey
(1989), kedua orang tua sepakat bahwa hampir dua kali banyaknya dari remaja
kreatif perempuan mempunyai rasa identifikasi yang kuat dengan ibu mereka. Dari
data wawancara, nyata bahwa remaja meniru keberhasilan ayah tetapi lebih
mengandalkan ibu untuk mendapat dorongan. Yang menarik adalah pendapat dari
Ikeda (1979) dari Jepang, bahwa ibu mempunyai peranan utama dalam pengembangan
kreativitas keluarganya. Menurut Ikeda, kehidupan kreativitas ibu secara
alamiah akan tertanam dalam pemikiran anak-anaknya, menjadi bagian yang hidup
daripemikiran mereka.
15.
Penilaian Orang Tua Mengenai Kreativitas
Anak
Dalam
setiap keluarga, orang tua diminta menilai tingkat anak pada keempat jenis
kreativitas tersebut di muka. Penilaiaan ini dibandingkan dengan penilaian
Panel Boston College. Ternyata ayah dan ibu sangat setuju dengan penilaian
masing-masing, dan dengan penilaian secara menyeluruh.
16.
Jumlah Koleksi
Makin tinggi kreativitas remaja, makin banyak jumlah koleksi
mereka. Koleksi ini tidak biasa (lazim) pada umur mereka. Bagaimanapun, jumlah
perbedaan yang nyata ditemukan antara keluarga yang kreativitasnya tinggi dan
rendah, cukup menjadi petunjuk kuat bahwa keluarga merupakan kekuatan yang
paling penting, dan merupakan sumber pertama dan yang paling utama dalam
pengembangan kemampuan kreatif anak.
2. Hubungan antara Latar Belakang
Keluarga dan Kinerja Anak
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik
dari studi ini ialah:
Pada umumnya tampak bahwa makin tinggi
tingkat pendidikan orang tua, makin baik prestasi anak. Jika membandingkan
prestasi anak yang ayahnya berpendidikan SLTA atau lebih tinggi dengan prestasi
anak yang pendidikan ayahnya lebih rendah dari SLTA, maka pada tingkat SD
tampak perbedaan yang nyata dalam skor kreativitas, intelegensi, daya ingatan,
dan prestasi sekolah; tetapi pada tingkat SMP perbedaannya hanya bermakna dalam
prestasi sekolah. Yang menarik adalah bahwa pendidikan ibu lebih jelas dan
positif hubungannya dengan prestasi anak, daripada pendidikan ayah. Di SD
maupun SMP kelompok kelompok anak yang pendidikan ibunya SLTA ke atas skornya
nyata lebih tinggi pada kreativitas, intelegensi, dan prestasi sekolah,
daripada kelompok anak yang pendidikan ibunya lebih rendah dari SLTA.
Pada tingkat SD kecenderungan anak ialah
bahwa perhatian dan pengawasan orang tua terhadap pekerjaan rumah menunjukkan
hubungan yang positif dengan kinerja anak, akan tetapi pada tingkat SMP, anak
tidak memerlukan pengawasan orang tua untuk berprestasi baik. Bahkan tampak
kecenderungan bahwa antara pengawasan yang ketat dan kinerja anak pada hubungan
yang terbalik.
Sejauh mana keluarga mampu menyediakan
fasilitas tertentu untuk anak (seperti langganan surat kabar, TV, dan buku bacaan)
menunjukkan hubungan yang positif dengan tingkat kinerja anak.
Sehubungan dengan sikap orang tua dalam
pendidikan, data menunjukkan bahwa perhatian merupakan determinan yang poisitif
dari kinerja kreatif seorang anak, akan tetapi bahwa pendekatan otoriter
mempunyai dampak sebaliknya terhadap kinerja anak.
Terlalu banyak ikut campur dari pihak
orang tua,misalnya terhadap cara berbicara anak, minat anak terhadap membaca,
dalam menentukan peraturan di rumah, tidak menghailkan tingkat kinerja yang
lebih tinggi pada kreativitas.
3. Studi tentang Keluarga Anak
Berbakat di Indonesia
Pada tahun 1982 penulis telah melakukan
studi perbandingan di Jakarta antara keluarga anak dengan IQ di atas 130 dan
keluarga anak dengan IQ pada taraf rata-rata.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa orang
tua anak berbakat mempunyai tingkat pendidikan, jabatan profesional, dan
penghasilan yang lebih tinggi. Lebih banyak dari mereka yang mempunyai hobi
membaca, walaupun secara umum kebiasaan membaca semua orang tua belum tinggi.
Taraf aspirasi orang tua anak berbakat sehubungan dengan pendidikan anak lebih
tinggi. Jumlah anak dalam keluaraga lebih kecil presentase anak berbakat yang
termasuk anak sulung lebih tinggi.
Sehubungan dengan ciri-ciri anak yang
menurut orang tua perlu dikembangkan, dalam penelitian ini nyata bahwa orang
tua anak berbakat lebih mementingkan ciri “tekanan” dan “inisiatif”
dibandingkan orang tua kelompok anak dengan kecerdasan rata-rata. Inisiatif
memeng merupakan ciri anak berbakat, seperti dinyatakan oleh Briet (dikutip
oleh Martinson, 1074:25): “...a self-
insiated student, usually needing little help in knowing what to do; starts on
his own; pursues individual interest and seeks own direction.
Dibandingkan orang tua anak berbakat,
orang tua anak dengan IQ rata-rata lebih mementingkan ciri “kepatuhan” pada
anak. Anak berbakat banyak dituntut orang tua untuk mengerjakan tugas-tugas di
rumah di bandingkan dengan anak IQ rata-rata, sehingga mereka lebih banyak
waktu untuk melakukan hal-hal yang mereka senangi. Orang tua dari kedua
kelompok anak sama dalam memberikan prioritas kepada ciri “kerajinan” dan
“kebebasan”. Hal ini sebetulnya tidak diharapkan dari orang tua anak berbakat
karena kedua ciri tersebut justru merupakan ciri khas anak berbakat dan
kreatif.
Penelitian di luar negeri mengenai
keluarga anak berbakat dan kreatif menunjukkan bahwa anak-anak tersebut: “Come from family backgrounds characterized by
lack of overdependence of children on parents and stress of conformity by
parents” (Martinson, 1974:22).
Seagoe (dikutip Utami Manandar,
1982:117) menyebut sebagai karakteristik anak berbakat: “independence in work and study; preference for individualized work;
self-reliance; need for freedom of movement and action.”
4.
Penelitian tentang Latar Belakang
Keluarga Finalis LKR/LPIR
Dedi Supriadi (1994) telah melakukan
penelitian tentang peruahan pribadi dan lingkungan keluarga para finalis Lomba
Karya Ilmiah Remaja (LKIR) dan Lomba Penelitaia Ilmiah Remaja (LPIR).
Penelitian ini bertumuan untuk
mengetahui latar belakang lingkungan keluarga dan pribadi finalis LKIR/LPIR.
Responden penelitian terdiri atas 125 finalis LKIR dan LPIR tahun 1986 dan
1987, yaitu 91% dari 138 finalis kedua lomba itu yang memberikan respons
terhadap instrumen penelitian yang dikirimkan melalui pos ke alamat rumah atau
sekolah mereka.
Mengutip Dedi Supriadi (1994), hasil
studi ini menemukan bahwa sebagian besar finalis LKIR dan LPIR adalah
laki-laki, anak pertama dan kedua, mempunyai orang tua berpendidikan dan
berpenghasilan baik, menempuh pendidikannya di kota, berasal dari keluarga
dengan iklim kehidupan yang baik, dan memiliki pengalaman bermakna yang kaya
dalam kehidupannya. Secara umum, mereka memiliki latar belakang kehidupan dan lingkungan yang
lebih unggul daripada kelompok pembanding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar